ASAP DAN KEMENANGAN PALSU

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 25 Maret 2014 04:01:06 WIB


Ketika impian diatur oleh harapan yang berlebihan, bayang-bayang tak lagi diniscayai sepanjang badan. Pepatah tua itu seakan telah roboh oleh keinginan-keinginan gila yang sarat dengan muatan keserakahan yang terperdaya oleh kilau kekuasaan. Kita dan kehidupan, sebenarnya terukur. Hidup bukan kajian kebetulan. Bilamana sesuatu ditempatkan atau dipaksakan atau dianggap sebagai kesempatan dari buah kebetulan , maka sesuatu itu akan berada di ruang yang salah. Ia tercederai !

         Menjelang tanggal 9 April 2014, sorak-sorai kemenangan begitu bergemuruh di langit kita yang berselimut kabut asap yang pekat. Saat-saat Pemilu tinggal menghitung hari, mengapa alam memaksa kita menghirup udara yang tak sehat. Masker yang menutup hidung dan mulut tak mampu atasi kepengapan. Kerongkongan sakit dan mata pun perih memandang!

         Apakah alam menginginkan kita supaya tak banyak bicara, karena tiap pembicaraan cendrung banyak dusta ketimbang jujur? Apakah alam menginginkan kita supaya tak banyak melihat, karena apa yang terlihat cendrung banyak yang palsu? Apakah begitu?

         Bila bumi sumpek dengan ketidakadilan perilaku dan perangai manusia dan bila penguasanya zalim dan kurang ajar pada rakyat sendiri, bila kepalsuan perbuatan meruyak di mana-mana, niscaya alam akan memberontak dan bencana akan menjadi etalase yang mengerikan di ranah ini. Percayalah, air mata duka tak akan pernah berhenti mengalir...

 

KOMODITI KEPALSUAN

 

         Menjelang Pemilu, banyak benar kepalsuan mengapung di lautan keserakahan akan kekuasaan. Kita khawatir dan cemas bilamana Pemilu menjadi

lembaga "kesyirikan" di atas dunia. Pemilu seakan-akan jadi wahana "sakral' yang disucikan oleh para pemburu kekuasaan. Ketika pemilu dianggap "pahala" di pentas demokrasi kita, maka sebagian besar pendoyan kekuasaan berlomba-lomba berbuat kebaikan dengan harapan berimbal 'kursi kekuasaan' bukan karena Tuhan, melainkan karena kekuasaan itu semata. Kebaikan yang palsu atau kepalsuan yang baik adalah musibah juga namanya itu.

         Lihatlah, betapa kaburnya nilai-nilai ketokohan sosial sejak uang bertahta di hati dan di kehidupan banyak manusia. Ketika para tuan bertuhan pada duit yang tak bernomor seri (saking banyaknya), ia berkecendrungan memperbodoh manusia untuk mendungu maka saat itulah kesetiaan dan loyalitas serta bisa dibeli dengan uang. Tuan berduit yang serakah terkadang seperti penjajah. Ia berkecendrungan menguasai 'orang'. Tapi, ada yang tak mampu dikuasai oleh uang yakni "hati" dan "rasa".

         Para caleg terkadang tak pernah bosan disuguhi minuman dan hidang-hidangan yang bermenu kemenangan palsu. Bahasa-bahasa kemenangan selalu didengung-dengungkan para tim sukses kepada 'jagoannya'. Seakan-akan, bila tim sukses sudah berjalan dan menyerahkan berbagai bantuan, maka ketika bantuan itu sampai maka itu sudah bisa dianggap sebagai "kemenangan".

         Mendengar laporan kemenangan di mana-mana, sang caleg pun cendrung 'gelap mata'. Uangnya yang banyak seakan melompat-lompat hendak keluar dari pundi-pundinya.

         Para-para tim mendadak menjadi tukang pemetaan profesional. Suara dengan seekelamak perutnya, ia petakan sedemikian rupa. Sebagian 'dimakan' sang caleg, sebagian tertolak karena hitungannya 'kasar'.

         Pesta demokrasi adalah pesta untuk semua memang.

         Namanya saja helat atau pesta. Untuk sebuah pesta, orang sudah siap memang untuk habis-habisan. Segala beras yang ada akan ditanak untuk kemenangan. Biaya atau kos politik sudah 'dilauk dalam belangakan'. Namun ada juga caleg yang tak siap-siap benar menghadapi pesta ini. Tak siap dalam program dan tak siap pula dalam biaya. Ia maju ke gelanggang politik hanya sekedar untuk memenuhi kuota semata. Dapat syukur, tak dapat pun tak akan gila.

         Yang agak 'sedap-sedap ngeri' mungkin para incumbent. Bagaimanapun kajiannya, mempertahankan sesuatu jauh lebih sulit daripada merebutnya. Apalagi, selama 5 tahun duduk menjadi anggota dewan tak bersuara untuk rakyat yang diwakilinya. Ia hanya sekedar datang, sekedar duduk, sekedar reses, sekedar meneken, dan sekedar mengangguk. Di ujung penghabisan kekuasaan, ia tersadar. Lalu, setahun menjelang pemilu baru ia turun lagi mengunjungi masyarakat yang dulu memilihnya.

        Beberapa waktu yang lalu terdengar kabar adanya seorang anggota dewan yang diusir oleh seorang walinagari, karena oknum anggota dewan itu dianggap belum memenuhi janjinya pada masyarakat waktu kampanye 5 tahun yang lalu. Miris memang!

         Di lapangan ia makin tambah gamang, tapi ada juga yang makin tambah nekat. Sekalipun janjinya 5 tahun yang lalu belum dipenuhinya dan biarpun kini masyarakat menuntut janjinya, namun dengan 'tanpa malu' ia beri masyarakat janji-janji yang baru.

           Sementara yang gacar turun ke masyarakat merasa telat untuk mengutuk dirinya sendiri. Sementara 'rasa enak' untuk duduk sebagai anggota dewan mulai kental terasa. Ia sebenarnya belum siap kehilangan kursi, sementara masyarakat tak siap menerimanya. Inilah hukuman sosial yang paling kejam!

         Biasanya, bila manusia disuguhi dengan harapan-harapan yang banyak, maka logikanya mengalah. Ia akan mendekap harapan itu penuh mesra. Ketika kabar kemenangan disuguhkan kepadanya, ia mabuk sendiri.

         Berkata tim suksesnya. " Pak, alam sudah memberi tanda kepada kita. Tidakkah bapak lihat, bahwa langit kita berasap....?"

         Sang Caleg, melihat ke langit. Lalu ia mengangguk-angguk sendiri. Sekali-sekali terbatuk-batuk akibat kabut asap kiriman dari Riau.

"Bapak perhatikan asap itu baik-baik, bapak lihat betapa singkatnya jarak pandang kita saat ini"

Sang Caleg kembali melongokan pandangannya keluar ruang di posko pemenangan yang ia bentuk dengan gagah itu.

Saat caleg masih diam, si tim sukses yang tukang alur itu mulai berkata:" Itu sebuah tanda Pak, tanda kejatuhan bapak?"

Mendengar kata jatuh sang caleg terbulalak dan rona wajahnya berubah drastis sirah. " Apa jatuh???"

Tim sukses mengangguk.

"Ya, itu pertanda bapak akan jatuh, jatuh seperti asap...membubung ke langit kemenangan!".

Olala, wajah sang caleg mulai berbinar bahagia. Mereka bersalaman tanda optimis untuk menang.

" Oh ya, pak titipan bapak pada salah seorang tokoh di nagari itu sudah saya sampaikan. Ia menjamin seribu suara untuk kita!"

Sang caleg kembali bahagia.

"Tampaknya kita perlu mendekati tokoh nagari yang lain. Bila Bapak yakin pada saya dan yakin pada tokoh itu, saya kira, kita kirimi dia agak sejuak tak apa juga....hitung-hitung sebagai uang pembuka pintu!"

Selanjutnya sang caleg menitipkan uang berlapis-lapis dalam tiga kebat. Kemudian, tim sukses itu menyampaikan: " Stok baju, stok kartu nama, stok

poster, stok souvenir sudah menipis di gudang kita Pak...!"

" Catat, berapa banyak lagi yang harus segera kita cetak!"

"Siap Pak!"

Itulah sedikit rekaman peristiwa seputaran helat demokrasi kita. Tim pemenangan itu, kalau dihitung-hitungnya sudah berlapis-lapis keuntungan yang ia dapat.Keuntungan pertama, markup biaya, keuntungan kedua, komisi dari percetakan, keuntungan ketiga uang 'asin' dari selisih biaya pemasangan tim ke lapangan. Dia lihat, di tabungannya sudah bisa pula pembeli tanah sepetak dua. (Pinto Janir)