PEMILU DAN ABULAN POLITIK

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 25 Maret 2014 04:08:08 WIB


Banyak orang-orang yang termanjakan dan orang berharapan baru selama masa menjelang pemilu. Ada kekhawatiran dan sinyalemen bahwa pasca pemilu 9 April 2014 akan menciptakan dan melahirkan beberapa hal-hal yang baru. Pertama, akan lahir para anggota dewan baru. Kedua, akan lahir kekecewaan baru (sebagian menyikapi dengan sabar, sebagian menyikapi dengan cara gila baru) dan ketiga, akan lahir pemalas baru, keempat; maka lahirlah hutang-hutang baru, bila diurutkan hingga poin 22, akan tercipta hal-hal yang baru pasca pemilu.

         Poin ketiga ini yang dicemaskan. Mengapa? Pada masa kampanye, dengan mudah sebagian besar orang yang tergabung pada tim sukses seseorang, akan mengalami 'malas' yang berlebihan. Mereka malas ngojek, malas bertani, malas berkuras, malas menggalas karena selama masa kampanye dulu dengan mudah mereka bisa mendapatkan uang. Meminta atribut kampanye di posko pemenangan berarti; uang masuk itu. Memasang bendera, menempel gambar, membagi-bagikan kartu nama, uang masuk juga baru namanya. *Lai menggarit, pitih itu*.

 

         AMBULAN 'POLITIK'

 

         Kita berharap, semoga kebaikan-kebaikan yang dipertontonkan caleg kita pada saat sekarang ini bukanlah 'kebaikan palsu' seumpama ada udang dibalik batu. Sementara atau tidak semnetara sifatnya, yang jelas dampak positif dari pemilu adalah melahirkan orang-orang baik. Orang-orang penyapa, peragih (pemberi) lagi pemurah, penolong, suka senyum, mendadak ramah, dan orang-orang asik yang jauh dari kesombongan.

         Ternyata Pemilu menjadi alat yang ampuh bagi sebagian orang untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan. Bila pemilu dilaksanakan sekali setahun, maka betapa beruntungnya rakyat. Suara dan kehendak rakyat akan terperhatikan dengan sangat baik sekali. Sayang, pemilu hanya sekali lima tahun, sementang begitu, jadilah itu dulu!

         Kata orang bijak, pemimpin massa bukan dilahirkan, tapi ia muncul. Kalaupun ia lahir karena kekuatan 'uang' dan kehebatan 'pencitraan' niscaya usia 'kekuasaan'nya pun tak akan berumur panjang. Pemimpin yang dilahirkan, akan gampang dilipat zaman dan dilupakan. Kajian pencitraan itu sederhana, antara lain mengabarkan kebaikan (pikiran, pandanga,program dll) person yang dicitrakan. Lalu, mempengaruhi (mempropaganda) atau meyakini massa. Ekstrim pencitraan adalah memoles kudis menjadi tahi lalat pemanis.

Begitulah...

         Pencitraan menyerang pikiran dan pandangan dengan tujuan membentuk opini massa sesuai harapan pencitraan. Berbagai macam cara untuk melakukan gerakan pencitraan, mulai dengan cara "lembut" hingga cara "keras". Alat pencitraan itu berbagai rupa, mulai dari bentuk gambar, tulisan, ujaran ( baik audio maupun visual) dengan media antara lain radio, televisi dan surat kabar.

         Menginformasikan apa dan bagaimana pikiran seorang person yang benar-benar baik tanpa dilebih-lebihkan dalam sisi apa saja, bukanlah 'kejahatan pikiran' tapi itu adalah perbuatan mulia. Memberikan informasi kepada masyarakat dengan jujur dan benar adalah kewajiban kita bersama. Kewajiban kita adalah mengabari kepada masyarakat tentang tokoh-tokoh yang hebat dan benar-benar layak menjadi wakil kita di lembaga legislatif.

Adalah sebuah penyesalan menahun bila mana kita tahu tentang kebaikan namun tak dikabarkan dengan baik, pada akhirnya rakyat terpilih calon yang terbaik yang mengakibatkan 'rugi' sosial 5 tahun.

 

         Tentang kajian propaganda, Bung Karno berkata; " Banyak kerja, banyak bicara!"

         Kita merasa bahagia juga dan bersyukur ketika mana pada masa pemilu ini banyak kebaikan-kebaikan mengapung kepermukaan. Sebagian calon sibuk dengan kegiatan membedah-bedah rumah. Apapun alasan dan tujuannya, itu tetap kebaikan sekalipun dibuat-buat. Rakyat susah tetap menerimanya dengan senang. Harapan calon, kebaikannnya dibalas dengan "suara".

         Kajian lain dalam matematis lain, sekiranya kita melakukan bedah rumah untuk 22 rumah, jika tiap rumah yang dibedah butuh uang Rp 20 juta, maka uang yang dibutuhkan adalah Rp 440 juta. Jika tiap rumah terdapat 3 pemilih berarti untuk 66 suara kita "terbeli" Rp 440 juta. Besar sekali. Namun tidak besar bila dikaji dalam 'hitungan" pencitraan.Mengapa, karena target yang kita capai bukan lagi soal berapa banyaknya orang yang memilih, namun adalah untuk membentuk opini bahwa "calon" kita peduli rakyat susah.

         Kemudian kita harus bersyukur, betapa banyaknya ambulan simpang siur di tengah jalan kita. Ambulan yang banyak itu bermerek partai atau bergambar caleg. Bahkan, sebagian ambulan 'politik' itu ada yang di-standby-kan di rumah-rumah sakit. Ini adalah nikmat dari kebaikan 'pemilu'.

         Dulu cari ambulan, itu susah. Kalaupun dapat, berbayar mahal. Kini justru sebaliknya, tak perlu repot-repot, begitu mendengar ada kabar sakit atau kematian, tanpa diminta ambulan 'kebaikan' segera datang. Pernah kita melihat, pada suatu peristiwa kematian, ada 2 atau bahkan tiga ambulan dari berbagai caleg. Tampaknya, ambulan-ambulan itupun beebut penumpang. Dan yang menang, tetap saja rakyat yang sakit.

         Dulu karangan bunga di acara perhelatan dan kematian adalah milik para orang-orang tertentu. Adalah milik pejabat *doang.* Kalau anak atau kemenakan pejabat berhelat, maka karangan bunga akan berdatangan. Begitu pula dengan kematian para tokoh, karangan bunga pasti terpajang di rumah duka.

         Kini tidak begitu. Karangan bunga tak identik lagi dengan status sosial. Asalkan ada tim sukses yang mendengar ada perhelatan atau kematian, karangan bunga dari para caleg pasti tiba. Tampaknya, perhelatan dan kematian adalah ruang yang strategis untuk 'tampil' dengan alas silaturahmi.

         Ketika ambulan menumpuk di satu posko tim pemenangan caleg, tugas tim sukses pun dibagi-bagi. Tentu harus tim 'managemen' ambulan yang khusus mencari informasi di lapangan untuk mendata kemungkinan-kemungkinan masyarakat yang membutuhkan jasa gratis ambulan. Sori, kalau tim suksesnya benar-benar terjun ke lapangan, maka data-data orang yang sakit harus lengkap. Tim sukses harus sigap menjemput bola atau menerima hubungan telepon dari kabar si sakit.

         Kabar-kabar kematian atau adanya kabar-kabar ajal akan dekat tak boleh lepas dari telinga tim. Begitu idealnya. Begitu adanya kabar kematian, ambulan harus siap berangkat; "ning...nong...ning...nong!"

         Kembali ke soal ambulan-ambulan baru, (maaf) kita menyebutnya dengan ambulan politik karena bermunculan di tahun politik, harapan kita adalah semoga ambulan itu tak saja muncul sebelum pemilu ini. Kalau dapat sesudah pemilu, mobil itu tetap menjadi ambulan dan tidak berubah fungsi ke nan lain. Bila perlu disumbangkan ke berbagai masjid, biar pengurus masjid yang mengelolanya.

         Bagaikan sebuah pantun : *matahari tetaplah jadi matahari, bulan tetaplah jadi bulan, Terpilih atau tak terpilihnya diri, ambulan tetaplah jadi ambulan.* (Pinto Janir)