PIKIRAN DI TENGAH PADANG

Artikel Pinto Janir(Pinto Janir) 17 Maret 2015 03:22:23 WIB


Beberapa tahun silam, dalam sebuah aksi demo di kota ini saya pernah berorasi di depan gedung DPRD Kota Padang. Demo itu adalah demo tuntutan “orang Padang” bahwa walikota Padang harus putra daerah. Tak salah saya, demo itu semasa jabatan akhir Zuiyen Rais jadi walikota.

               Demo itu unik juga. Para pendemo ada yang mengenakan baju silat, berdeta dan bersarawa galembong. Ada talempong. Ada sound sistem yang keras dan nyala. Demo didukung oleh banyak tokoh asal kota Padang. Salah seorang tukang orasi adalah (alm) Zalmon.

               Pada sebuah orasi saya katakan: “ Bukan saya berpikir sempit, kota Padang harus dipimpin oleh putra asal kota ini. Bukan yang lain. Bila kota Padang dipimpin oleh orang luar, kembalikan Padang pada luas 33 KM2 saja. Kami akan bentuk Kabupaten Padang Pinggir Kota”.

               Kala itu, ada 3 putra Padang yang maju ke pentas kekuasaan, yakni Harmensyah, Basril Thaher dan Fauzi Bahar. Kemudian sejarah mencatat, Fauzi menjadi walikota Padang untuk 2 periode. Pada periode kedua, saya total ‘berkampanye’ untuk Fauzi Bahar yang berpasangan dengan Mahyeldi.

               Sebenarnya, memekarkan Padang menjadi dua daerah administrasi itu bagus. Setidaknya, untuk ‘mengakali’ pemerintah Pusat  dalam per-APBN-nan. Untuk Sumatera Barat saya mendukung konsep pemekaran. Tapi pemekaran yang bagaimana? Ialah pemekaran yang benar-benar logis yang sesuai alur, patut dan pantas.  

               Kini, saya kurang tertarik membicarakan konsep pemekaran untuk kota Padang. Kecuali ‘pemekaran’ pembangunan.

               Dan, sekarang walikota Padang adalah Mahyeldi. Mahyeldi menjalani masa kecil dan sekolahnya di Bukittinggi ( sumber Wikipedia). Pada masa pemilihan dulu, saya mendukung Desri Ayunda, putra Koto Tangah. Desri kalah sekitar 1000 suara dari Mahyeldi.

               Artinya, yang jadi Walikota adalah Mahyeldi.

               Sebagai seorang warga kota Padang bersuku Sikumbang yang lahir dan besar serta berpusaka tinggi di kota ini, tentu saya dan warga kota lainnya memiliki beberapa harapan pada Pak Walikota. Harapan untuk menjadikan kota Padang sebagai kota “terlindungi”.

               Terlindungi dari sampah, terlindungi dari banjir, terlindungi dari maksiat, terlindungan dari segala marabahaya dan petaka, terlindungi dari kebodohan, terlindungi dari kemiskinan, terlindungi dari macet, dan menjadi kota aman dan nyaman yang jauh dari segala tindak kriminal.

               Harapan saya ini sama dengan harapan banyak warga kota.

               Ada sekitar satu juta penduduk kota padang. Jika satu juta itu ‘melahirkan’ satu sampah, maka jumlah sampah di kota ini tiap hari adalah ‘satu juta’ pula. Persoalan sampah bukan persoalan mudah untuk diatasi, apalagi bila warganya tak taat bersih.

               Kalau tak sungguh-sungguh mencermati soal sampah, dipastikan akan banyak sudut kota bersampah.

               Salah satu contoh:

               Saya tinggal di jalan Parkit kelurahan Air Tawar Barat. Kelurahan ini adalah kelurahan “pendidikan”. Di sini berdiri megah kampus UNP. Kawasan Air Tawar Barat adalah juga kawasan kos-kosan. Kelurahan ini padat penduduk. Sedikitnya di sini terdapat 5 ribu rumah. Bayangkan, lima ribu rumah dan sampah tiap hari. Bila soal sampah tumpul pengelolaannya, alhasil; kelurahan ini akan rentan oleh berbagai penyakit.

               Tiga hari saja petugas sampah tidak datang mengambil sampah di rumah saya, depan rumah saya itu menjadi penuh oleh sampah yang berlangau.

               Dengan beberapa orang pemuka masyarakat Air Tawar Barat, saya pernah menyampaikan gagasan soal penanggulangan sampah di kelurahan ini. Kelurahan Air Tawar Barat saatnya mendirikan sebuah lembaga sosial yang mengurus sampah. Bisa juga menjadi semacam badan usaha milik masyarakat kelurahan.

               Ada 5 ribu rumah di sini. Bila lima ribu rumah itu beriyur-iyur Rp 10 ribu sebulan maka uang yang dihasilkan adalah 5 ribu x 1o ribu = Rp 50 juta. Dengan demikian kelurahan ini memiliki Rp 50 juta sumber dana tiap bulan. Uang sebanyak itu, digunakan untuk petugas ngangkat sampah dan kegiatan sosial lainnya. Lama-lama lembaga ini akan dapat mengatasi jumlah pengangguran. Setidaknya, akan terserap 10 tenaga pengangkut sampah untuk mengatasi sampah di kelurahan ini. Mengapa saya sampai bergagasan seperti ini; karena bertahun saya tinggal di kelurahan ini, yang menjadi soal tetap sampah!

               Kelurahan Air Tawar Barat adalah kelurahan “kota”. Tapi coba lihat beberapa ruas jalannya. Apakah bagus? Tidak. Terutama di jalan Parkit. Jalan di Parkit utama tak tersentuh pembangunan. Banyak lubang. Kumuh.

               Dan saya yakin, banyak nasib kawasan kelurahan yang senasib dengan jalan Parkit utama yang berjalan buruk itu.

               Pak Walikota; mencigaplah kemari.

               Saya masih ingat beberapa tahun silam, saya membuat berita di surat kabar tempat saya bekerja yakni Mingguan Canang. Berita itu menyoal tentang sebuah diskotek ( Presiden teater lama) yang menggratiskan mahasiswa masuk diskotek. Pihak pengelola disktek menamai acara gratis itu dengan Kampus Night.

               Baik tajuk maupun berita, kegiatan itu saya protes keras. Saya minta pendapat DPRD, minta pendapat dosen dan minta pendapat walikota (masa itu Zuiye Rais) . Dalam pandangan saya, tempat mahasiswa adalah kampus dan pustaka bukan ruang diskotek. Diskotek dalam pandangan saya adalah tempat dan ruang yang rawan dari segala perbuatan maksiat. Narkoba cs, bisa empuk bersarang di sana. Akhirnya Walikota Zuiyen Rais menutup “Kampus Night”. Saya lega secara bathiniah.

               Jauh hari, sejak saya “belajar berpikir” saya memang tidak setuju dengan adanya diskotek di kota ini. Kalaupun untuk alasan menghidupkan malam di kota Padang, bukan diskotek saja medianya. Banyak media lain. Misalnya, mendirikan kawasan kuliner pada suatu tempat. Itu jauh lebih baik. Saya berharap, tempat-tempat hiburan yang berpotensi maksiat sebaiknya ditutup di kota ini. Untuk apa berdisko di waktu malam, kalau itu hanya akan mengundang “cilako” saja?

               Mudah-mudahan Padang dan kepariwisataannya selalu mengacu pada konsep wisata syariah bukan wisata ‘setan’.

               Saya cemas, kalau tempat-tempat hiburan berpeluang maksiat itu dibiarkan tumbuh dan berkembang di tengah Padang maka azab Allah akan melipat kota ini. Karang di bawah Padang akan runtuh bila maksiat kembang bertumbuh.

               Maunya saya, sepikan saja Padang di tengah malam, biarkan warganya bersunyi-sunyi dalam dzikir ilahi! (Pinto Janir)