LKAAM

Artikel Yongki Salmeno(Yongki Salmeno) 23 April 2015 13:23:46 WIB


Suatu ketika di sebuah nagari di Sumatera Barat diadakan rapat adat. Sebelumnya nyaris  terjadi cakak banyak antar penduduk kedua nagari tersebut . Rapat itu membahas kasus pencurian kerbau yang dilakukan oleh anak nagari yang berasal dari nagari yang bertetangga dengan nagari tersebut. Para niniak-mamak, tokoh-tokoh adat, pemuka masyarakat di nagari tersebut ikut terlibat bermusyawarah. Begitu juga niniak-mamak, tokoh adat dan pemuka masyarakat dari nagari tetangga tempat asal pencuri kerbau tadi juga ikut diundang. Bundo kandung dan pemuda juga tak ketinggalan duduk bersama mendengarkan masalah yang sedang dibahas.

                Kronologi peristiwa dibentang secara luas dan terang benderang dalam rapat ini, baik dari pihak penggugat maupun dari pihak  tergugat. Setelah mendengar bagaimana duduk persoalannya dari kedua belah pihak, ninik-mamak satu persatu mengeluarkan pendapat masing-masing. Cukup lama juga pembahasan dan saling adu argumentasi yang terjadi. Namun menjelang tengah malam akhirnya musyawarah itu mengerucut menjadi sebuah kesimpulan dan berakhir dengan mencapai kata sepakat.

                Rupanya persoalan tersebut bermula dari rasa dendam dan sakit hati. Si A (pencuri kerbau) merasa dendam dan sakit hati karena si B (pemilik kerbau)  sering lalai menggembalakan kerbaunya, sehingga sering masuk ke sawah dan ladang si A. Akibatnya sejumlah padi si A yang sedang mekar menjelang berbuah rusak dimakan kerbau. Begitu juga ladang jagungnya yang sedang menghijau juga porak poranda diinjak dan dimakan kerbau milik si B. Peristiwa itu telah terjadi berulang kali, namun si B tak bergeming saat diperingatkan. Si A lalu nekad mencuri kerbau si B, lalu menjualnya ke tukang jagal.

                Setelah paham duduk persoalannya, maka ninik-mamak kedua belah pihak mengambil kata sepakat. Si A harus mengganti rugi kerugian kerbau yang dicuri dan telah dijualnya. Sebaliknya si B juga mengganti kerugian padi dan jagung milik si A. Kedua belah pihak sepakat untuk berdamai dan berjanji tidak akan mengulangi lagi kesalahan serupa. Kedua belah pihak juga sepakat untuk mengadakan alek nagari, makan bersama, sebagai tanda kedua desa bertetangga tersebut sepakat untuk memperkuat jalinan persaudaraan dan berdamai, ndak ado kusuik nan ndak salasai.

                Dulu peristiwa seperti di atas sering terjadi. Jika terjadi masalah di nagari, ninik-mamak (tokoh adat), tokoh agama, cadiak-pandai (tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin) dan bundo kanduang duduk bersama, berunding, bermufakat untuk menyelesaikan suatu masalah. Silang-sangketo dalam nagari, batagak rumah gadang, membangun mesjid, mambuek tali banda, membangun jalan dalam kampuang, selalu diawali dan diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat. Tokoh penggeraknya adalah unsur tungku tigo sajarangan dan bundo kanduang.

                Kebiasaan yang telah berlaku turun temurun dan telah membudaya di Sumatera Barat (Minang Kabau) tersebut adalah sebuah kearifan budaya yang tak ternilai harganya dan besar sekali dampaknya terhadap masyarakat dan kemajuan suatu daerah. Bisa kita bayangkan betapa dahsyatnya  jika sejumlah masalah yang terjadi bisa diselesaikan secara adat dengan bermusyawarah. Masalah tersebut tidak harus diselesaikan di kepolisian atau pengadilan, tapi bisa dilesaikan secara baik oleh masyarakat sendiri. Dengan sendirinya energi dan waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan suatu perkara bisa dihemat, dan penyelesaian perkara lebih mudahdan damai. Dengan demikian Pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) bisa mengerjakan pekerjaan pembangunan yang lebih besar, lebih baik, lebih maju dan lebih tepat sasaran, anggaran tidak tersedot dan waktu tidak habis untuk masalah-masalah sederhana yang sebetulnya bisa diselesaikan oleh masyarakat itu sendiri.

                Hal tersebut di atas sering saya sampaikan saat acara batagak penghulu, acara pelantikan pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan sejumlah acara adat lainnya. Ide tersebut juga beberapa kali saya diskusikan dengan tokoh-tokoh adat, cadiak-pandai dan tokoh ulama Sumatera Barat. Mungkin perlu waktu dan pembahasan yang khusus dan lebih serius lagi untuk mewujudkannya.

                Hari ini Kantor LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) diresmikan penggunaannya. Kita sangat berterimakasih kepada  Bapak Syamsul Maarif yang telah berkenan hadir dan meresmikan langsung kantor yang cukup representatif tersebut. Beliau pulalah yang berperan besar (sebagai Kepala Badan Nasional Penangggulangan Bencana/BNPB) membantu Sumatera Barat bangkit lagi pasca gempa dahsyat yang memporakporandakan Sumatera Barat tahun 2009, baik secara moril maupun materil. Jasa beliau sungguh tak terhingga.  Atas jasa beliau terhadap Sumatera Barat, beliau diberi gelar kehormatan Yang Dipertuan Raja Maulana Pagar Alam, dan istri beliau Nanik Kadaryani diberi gelar Puti Reno Anggun Suri.

                Kita sangat berharap peresmian kantor LKAAM ini menjadi momentum hidupnya kembali kearifan-kearifan tradisional budaya Minang Kabau (Sumatera Barat) yang sangat berharga. Para pakar menamakan kearifan budaya tersebut sebagai social capital (modal sosial) yang  sangat tinggi nilainya untuk kemajuan. Melalui LKAAM bersama segenap unsur tungku tigo sajarangan di berbagai pelosok Sumatera Barat, mari kita gali dan hidupkan lagi nilai-nilai budaya Minang yang luhur dan tinggi nilainya tersebut menuju Sumatera Barat yang lebih baik, lebih bermartabat  dan lebih sejahtera. (Oleh Irwan Prayitno) ***