Pelestarian Masyarakat “Sadar Aksara” Sebagai Prasyarat Utama Keberhasilan Pembangunan Daerah

Artikel () 30 Oktober 2015 19:47:51 WIB


Pelestarian Masyarakat “Sadar Aksara”

Sebagai Prasyarat Utama Keberhasilan Pembangunan Daerah

 Oleh :

 Alim Harun P.

Jurusan Pendidikan Luar Sekolah

Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang

 

  1. DEFINISI KEAKSARAAN

Definisi keaksaraan fungsional dapat dijelaskan dengan mengkategorinya menjadi keaksaraan dan keaksaraan fungsional. Keduanya memiliki penjelasan berbeda. Keaksaraan merupakan kata benda dari asal kata “aksara”. Secara etimologi (bahasa) “aksara” berarti “sistem tanda grafis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran atau jenis sistem tanda grafis tertentu”. Sedangkan “keaksaraan” secara etimologi diketahui pula sebagai “keberaksaraan” yang memiliki arti “kemampuan membaca dan menulis”.

Arti kata, secara terminologi (istilah) dimaknai sebagai “usaha awal dalam peralihan dari penggunaan bahasa ibu ke bahasa nasional”. Namun demikian untuk memperluas dan mempertajam pemahaman, keaksaraan dipahami tidak sekedar berhubungan dengan membaca, tetapi meliputi menulis dan menghitung. Istilah yang secara luas dikenal dengan “calistung” (akronim dari baca, tulis, hitung). Berdasar pada pemahaman tentang pengertian secara etimologi dan terminologi tersebut, keaksaraan merupakan “upaya untuk mengenali, menghasilkan ulang, dan menggunakannya sesuai ragam kaidah yang telah berlaku”.  

Setelah memahami tentang pengertian keaksaraan, selanjutnya perlu diketahui tentang keaksaaran fungsional. Untuk dapat mengaitkan antara keasaraan dan fungsional sehingga menjadi frasa “keaksaraan fungsional”, penjelasan dapat dimulai dengan memahami pengertian dari “fungsional”. Fugsional berasal dari asal kata “fungsi”. Secara terminologi, fungsi adalah “seperangkat kegiatan yang dilakukan agar memberi akibat sebagaimana yang diharapkan”. Dengan demikian, keaksaraan fungsional dapat dijelaskan sebagai “suatu usaha mengenali, menghasilkan ulang, dan menggunakan keaksaraan sesuai kebutuhan yang diperluakan dalam kehidupan sehari-hari”. Secara sederhana adalah menggunakan “calistung” dalam ragam kegiatan keseharian.

Internalisasi pengetahuan dan keterampilan tentang membaca, menulis dan menghitung dalam beragam kegiatan sehari-hari merupakan sesuatu yang wajib diupayakan oleh setiap individu yang telah “melek aksara”. Pengetahuan dan keterampilan keaksaraan akan sangat membantu setiap ragam kegiatan individu, mulai dari keseharian di keluarga, kantor, dan interaksi sosial kemasyarakatan lainnya.

Kemampuan dalam menginternalisasikan keaksaraan dalam kehidupan sehari-hari hanya dapat terjadi apabila individu dan atau lingkungan sosialnya telah memiliki “kesadaran aksara”. Usaha keaksaraan mesti dilakukan secara formal oleh Pemerintah, dan dilakukan secara informal oleh masyarakat. Usaha tersebut tentu saja melalui lembaga-lembaga seperti sekolah, pusat kegiatan belajar masyarakat, taman bacaan masyarakat dan lembaga nonformal lainnya, hingga keluarga.

  1. PENDIDIKAN KEAKSARAAN

Kegiatan pendidikan keaksaraan ditujukan untuk terjadinya perubahan perilaku individu dan masyarakat yang “acuh aksara” menjadi masyarakat yang “sadar/melek aksara”. Sekali lagi, hal ini tidaklah membatasi pemahaman pada pengetahuan tentang membaca, menulis dan menghitung saja. Tetapi justru memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan tersebut untuk “berinteraksi” dengan lingkungan sosial kemasyarakaatannya.

Merrifield (Contested Ground: Performance Accountability in Adult Basic Education, 1998:2) dalam salah satu petikan tulisannya memunculkan sebuah pertanyaan menggelitik, “Does literacy have value in itself, or only because of its social impacts?”. Mampukah pendidikan keaksaraan memberdayakan masyarakat?, atau mampukah pendidikan keaksaraan berfungsi membebaskan atau memberdayakan masyarakat dari keterpinggiran dan keterbelakangan?. Jawabannya, tentu saja sangat bergantung pada karakteristik program pendidikan keaksaraan yang diselenggarakan. Lebih dari itu yaitu bergantung pada nirmana yang digunakan untuk memaknai "apa" dan "untuk apa" pendidikan keaksaraan itu sendiri.

Sudah tentu bahwa pendidikan keaksaraan yang dimaknai sebagai sekedar subject matter menurut school view of literacy (sekadar penguasaan keterampilan teknis membaca dan menulis atau sekadar mengurangi angka masyarakat buta huruf), tentu tidak akan berdampak sosial apapun. Padahal, investasi publik dalam pendidikan keaksaraan adalah karena mengharapkan dampak sosialnya. Seperti dikatakan Merrifield "The social impacts of literacy appear to be the guiding purpose for public investment in literacy education" (1998, p.12).

Program pendidikan keaksaraan, idealnya adalah dilakukan secara terus-menerus (continue) dan berkelanjutan (sustainable). Hal ini dimaksudkan agar pengetahuan dan keterampilan tentang calistung yang telah dimiliki tidak memudar. Berkurangnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tentu merupakan akibat dari kurangnya intensitas pengunaan keterampilan membaca, menulis,dan menghitung dalam kehidupan sehari-hari. Program kegiatan pembelajaran keaksaraan bisa jadi adalah hal baru bagi seorang individu yang belum menguasai membaca, menulis, dan menghitung dala bentuk yang paling sederhana. Namun bisa jadi juga merupakan hal biasa bagi seorang individu yang kesehariannya telah merasakan manfaat penggunaan pengetahuan dan keterampilan keaksaraan kesehariannya.

  1. IKHWAL IDEAL DAN FAKTA

Pendidikan keaksaraan bagi orang dewasa (Adult literacy education) yang lazim pula disebut "pendidikan dasar bagi orang dewasa" (Adult basic education), sudah sangat umum diasumsikan mempunyai sifat instrumental dalam rangka perbaikan sosial dan ekonomi. Makna pendidikan keaksaraan terletak pada adanya dampak perbaikan sosial dan ekonomi. Pendidikan keaksaraan dipandang memberikan bekal kemampuan bersifat dasar (teknikal dan fungsional) yang dapat diterapkan dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Keaksaraan memang bukan untuk keaksaraan itu sendiri. Ia tidaklah bermakna di dalam dirinya sendiri. Itu tercermin dalam sinyalemen Merrifield (1998, p iv) yang menyatakan "Adult basic education has long been viewed by many educators and policy makers as a tool for addressing social and economic problems". Sejalan dengan itu, Faisal menegaskan “in short literacy education or literacy program is widely conceptulized as an effort to serve adult to acquire the basic educational skills necessary for literete funcsioning. The ultimete goal is to improve the quality of life of partisipants (2001, p.1).

Ia dianggap (akan dengan sendirinya) bersifat fungsional dalam menunjang peran-peran utama orang dewasa, baik selaku tenaga kerja, anggota keluarga maupun warga masyarakat. Dengan begitu, kualitas hidup mereka yang telah melek huruf akan dengan sendirinya bisa meningkat, secara sosial maupun ekonomi. Sifat instrumental pendidikan keaksaraan dengan asumsi seperti disebutkan tadi, oleh Street (1984) diberikan julukan berpandangan "autonomous" terhadap keaksaraan (Autonomous view of literacy). Disebut dengan julukan demikian karena kental sekali menganggap keaksaraan sebagai seperangkat keterampilan teknikal, yang apabila telah dikuasai secara mahir, niscaya bisa dialihkan (transferable) dari konteks yang satu ke konteks yang lain, yang dari padanya secara otomatis akan diikuti oleh perbaikan sosial dan ekonomi. Di sini, melek huruf atau kemahiran baca-tulis, dipandang sebagai "obat mujarab" untuk keluar dari berbagai rupa ketertinggalan dan keterpinggiran.

Kebijakan publik di tingkat nasional maupun internasional konon masih kukuh berpegang pada pandangan naif autonomous view of literacy dimaksud (Merrifield,1998, p.12). Apa yang lazim disebut "keaksaraan fungsional" (functional literacy), juga termasuk dalam lingkaran pandangan naif yang dilontarkan Street tadi. Karena seperti dinyatakan Marrifield, "Functional and competency approaches to literacy assume that knowing how well someone read tell us something about how they carry on the rest of their lives" (1998, p.29). Padahal, kata Merrifield, "There is not a great deal of evidence for this" (1998, ibid).

Parnyataan Merrifield yang disebutkan terakhir tadi memperlihatkan adanya kesenjangan antara apa yang diniati atau dimaui (literacy functioning) dan apa yang terjadi dalam praktik kehidupan nyata sehari-hari. Artinya, setelah bebas dari buta huruf, atau setelah menjadi melek huruf, (pada kenyataanya) tidaklah otomatis membuat mereka berdaya sehingga lebih berhasil meningkatkan kualitas hidupnya. Kesenjangan demikian itu sudah seharusnya ditanggulangi. Tidak sepantasnya dibiarkan berlarut-larut. Perlu ada tindakan nyata untuk memperbaikinya. Untuk itu, saya kira, harus ada keberanian memberikan koreksi total terhadap pandangan naif autonomous view of literacy, termasuk didalamnya pendekatan fungsional dan kompetensi di dalam memaknai keaksaraan.

  1. MASYARAKAT “SADAR AKSARA”

Dikemukakannya beragam teori sosio kultural tentang keaksaraan (socio cultural theories of literacy) merupakan pertanda penting untuk mengubah prespektif masyarakat tentang keaksaraan secara lebih radikal. Pendidikan keaksaraan tidak sekadar dipandang dengan capaian penguasaan teknikal atau fungsional, tetapi sebagai suatu praktik sosial yang kontekstual. Artinya, keaksaraan tidak lagi dimaknai sebagai subject matter melainkan sebagai suatu praktik sesuai konteks sosialnya.

Dalam konteks sosial di kampus misalnya, baik dosen ataupun mahasiswa, membaca dan menulis karya ilmiah adalah peristiwa dan praktik keaksaraan sehari-hari. Hal tersebut merupakan praktik sosial yang dituntut untuk dilakukan dalam keseharian masyarakat akademisi di kampus. Kondisi tersebut tentu berbeda dengan praktik social masyarakat petani, pedagang, dan sebagainya. Dalam konteks social masyarakat petani misalnya, praktik keaksaraan yang diperlukan bias jadi berhubungan dengan pada mencatat rangkaian kegiatan pertanian seperti: masa tanam, pemupukan, waktu penyemprotan hama, hingga masa panen, dan sebagainya; atau mencatat permodalan, biaya produksi, pendapatan, hutang piutang, atau membaca aturan penggunaan obat-obatan tanaman, membaca aturan pemupukan, dan mungkin bentuk keaksaraan lain yang dibutuhkan dalam praktik keseharian masyarakat tani (Faisal, 2001).

Berbagai konteks sosial lain tentu memiliki tuntutan keaksaraan masing-masing. Berbeda konteks sosial akan berbeda pula peristiwa dan praktik keaksaraan yang dibutuhkannya. Dengan demikian, seseorang dimungkinkan untuk menguasai berbagai praktik keaksaraan sesuai konteks sosial yang dijalaninya. Seperti yang dinyatakan Gee bahwa keaksaraan bukanlah "something we do with our heads " melainkan "something to do with social, institutional, and cultural relationships" (1996 dalam Faisal, 2001).

Pemikiran ini selanjutnya menuntut pentingnya menghadirkan peristiwa nyata yang dialami sehari-hari untuk "dibaca" di dalam pendidikan keaksaraan. Bukan hanya berarti menghadirkan materi pelajaran keaksaraan yang sesuai dengan kebutuhan dunia nyata di suatu konteks, melainkan juga mengandung pengertian, mempersoalkan secara kritis berbagai segi dan seluk beluknya (Faisal). Dengan demikian, pendidikan keaksaraan tidak sekadar berhubungan dengan aspek kognitif (pengetahuan) untuk membaca kata, melainkan juga untuk asah otak "membaca dunia" yang berada di balik kata kata yang dibaca.

Menghadirkan dunia nyata keseharian untuk "dibaca" secara serempak seperti disebutkan tadi merupakan karakteristik esensial pendidikan keaksaraan. Melalui proses belajar "membaca kata" dan "membaca dunia kehidupan nyata" semacam itu bisa diharapkan tercipta pendidikan keaksaraan yang relevan secara budaya dan memberdayakan secara sosial (Degener, 2001, p.26). Faisal (2001) merangkum bahwa pendidikan keaksaraan semacam itulah yang nyaring disuarakan sejumlah pakar seperti Averbach (1989), Freire (1993), Shor (1992), Lankshir & McLaren (1993), dan Quigley (1997).

Untuk memenuhi kedua karakteristik esensial yang dimaksudkan tadi, diperlukan tipe pendidikan keaksaraan yang konten atau materinya relevan dengan tuntutan kehidupan dalam dunia nyata masyarakat. Bersamaan dengan itu, juga perlu sarat dengan sifat dialogis, yang mencerminkan tingginya keterlibatan warga belajar untuk bisa menyalurkan rasa ingin tahu mereka, termasuk rasa ingin "bersuara" tentang dunia nyata yang mereka hadapi. Bila dimensi “life-contextulized” dan “dialogic” tersebut benar-benar teraktualisasi dalam proses pendidikan keaksaraan, maka tidak hanya akan mencerdaskan dan memberdayakan, tetapi juga akan melanggengkan praktik keaksaraan (selaku praktik sosial) dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Pendidikan keaksaraan yang disesuaikan dengan tuntutan konteks sosial masyarakat sebagai warga kota, misalnya, akan membuat masyarakat mampu dan terbiasa mempraktikan keaksaraan dalam dunia nyata keseharian mereka. Selain itu, dapat diduga akan berkembang beragam wajah pemahaman dan kesadaran kritis warga masyarakat tentang dunia nyata yang mereka hadapi, misalnya berkenaan dengan jenis dan alur pelayanan publik yang disediakan pemerintah, pengeluaran biaya untuk pajak yang harus dikeluarkan, partisipasi dalam pelaksanaan peraturan daerah, besaran retribusi, dan sebagainya. Hasil pemahaman dan kesadaran kritis dimaksud merupakan titik awal bergulirnya beraneka ragam upaya praktis maupun strategis untuk menanggulangi permasalahan-permasalahan yang membelenggu partisipasi warga masyarakat dalam pembangunan daerah selama ini.

  1. PERAN PEMERINTAH DAN TOKOH MASYARAKAT

Keaksaraan merupakan suatu inovasi. Presprektif difusi inovasi (Rogers, 1983) menjelaskan bahwa lima tahap seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi atau hal baru adalah mengenal, tertarik, mencoba, memakai, dan akhirnya terbiasa. Bagi seseorang yang telah menguasai membaca, menulis, dan menghitung misalnya, ia hanya perlu untuk membiasakan atau menginternalisasi keaksaraan dalam aktivitas kesehariannya. Sedangkan bagi seseorang yang sama sekali belum mengenal membaca, menulis, dan menghitung misalnya, ia tentu masih perlu untuk mengenali, memiliki ketertarikan, mempraktekkan, dan selanjutnya membiasakan keaksaraan.      

Berdasar pada pendapat Rogers (1983), keaksaraan sebagai suatu bentuk inovasi, haruslah menjadi suatu kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Individu perlu untuk menempatkan keaksaraan sebagai kebutuhan hidup yang tidak dapat dihindari atau dialihkan. Masyarakat perlu pula untuk menjadikan keaksaraan sebagai suatu norma dalam kehidupan bermaysarakat. Masyarakat petani misalnya, dapat mempraktekkan keaksaraan melalui membaca aturan pakai berbagai jenis obat anti hama, mencatat waktu kegiatan usaha tani yang dilakukan, mencatat jenis dan jumlah pengeluaran produksi dan pendapatan yang diperoleh, hingga mencatat nama, alamat serta nomor telepon mitra usaha yang dimiliki. Dalam kehidupan bermasyarakat misalnya, kepala desa sebagai tokoh masyarakat dapat membiasakan keaksaran melalui catatan pertemuan warga (notulensi) yang dibagikan kepada seluruh warga. Cara ini merupakan upaya praktikal untuk membudayakan keakasaraan dalam kehidupan individu dan masyarakat.

Paparan sebelumnya menunjukkan secara jelas bahwa pembiasaan keaksaraan menjadi bagian penting dari tumbuhnya budaya keaksaraan. Tumbuhnya budaya keaksaraan dapat dipercepat melalui keterlbatan aktif para tokoh masyarakat, baik tokoh formal atau tokoh informal di suatu masyarakat. Kepemimpinan para tokoh masyarakat menjadi penentu utama keberhasilan program pembelajaran keaksaraan di masyarakat. Hal tersebut disebabkan posisi struktural yang dimiliki tokoh formal masyarakat, seperti Lurah dan Camat, dan disebabkan pengaruh kedekatan pribadi tokoh informal seperti Ulama, kepala adat, dan penghulu dengan individu-individu di dalam masyarakat. Para tokoh masyarakat akan dengan mudah menggunakan pegaruhnya untuk mengubah perilaku masyarakat dari yang “buta aksara” menjadi “melek/sadar aksara”.

Kemampuan interaksi sosial para tokoh masyarakat merupakan keahlian dan kewenangan yang mutlak dimiliki. Karena secara struktur para tokoh masyarakat memiliki fungsi untuk memastikan seluruh proses sosialisasi (interaksi sosial untuk mengubah kondisi yang asosial menjadi tersosialisasi agar terhindar dari kemugkinan terjadinya kondisi masyarakat yang anti sosial). Berdasar pada fungsi tersebut, dalam konteks kekasaraan fungsional, maka para tokoh masyarakat memiliki peran penting untuk mewujudkan suatu kondisi sosial yang benar-benar menjadikan masyarakat memanfaatkan sepenuhnya pengetahuan dan keterampilan keaksaraan yang telah dimilikinya.

Para tokoh masyarakat penting untuk menyadari bahwa “core competence of leader”nya adalah kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat untuk mempengaruhi pikiran, keinginan, dan tindakan, sehingga tercipta suatu atmosfer pembelajaran masyarakat yang diwujudkan dengan adanya kesadaran, keinginan dan tindakan baru masyarakat untuk melibatkan pengetahuan dan keterampilan keaksaraan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Daftar Pustaka

Averbach, E.R. 1989. Toward a Social Contextual Approach to Family Literacy. Harrvard Education Review

Degener, S.C. 2001. Making Sence of Critical Paedagogy in Adult Literacy Educational. Cambridge NCSALL.

Faisal, S. 2001. Curricula of Literacy Program. Paper Presented in The Session of Internasional Workshop of ISESCO on Literacy. Malang: STAIN Malang.

Freire, P. 1993. Paedagogy of The Oppressed. New York: Continuum.

Lankshear, C. & McLaren, P. (Eds.). 1993. Critical Literacy: Politics, Praxis, and the Post-Modern. Albany NY: State University of New York.

Marrifield, J. 1998. Contested Ground: Performance Accountability in Adult Basic Education. Cambridge: NCSALL.

Quigley, B. A. 1997. Rethinking Literacy Education: The Critical Need for Practice-Based Change. San Fransisco: Jossey-Bass.

Shor, J. 1992. Empowering Education: Critical Teaching for Socisl Change. Chicago: University of Chicago Press.

Street, B. 1984. Literacy in Theory and Practice. Cambridge: Cambridge University Press.