Sarjana Pulang Kampuang Membangun Kampuang

Artikel EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 21 Maret 2017 10:53:59 WIB


Sarjana Pulang Kampuang Membangun Kampuang

Oleh Yal Aziz

Jiwa merantau, memang sudah menjadi kebiasaan atau tradisi bagi anak nagari Minang. Faktanya, banyak anak nagari Minang bertaburan diberbagai daerah di nusatara ini. Bisa jadi tradisi merantau tersebut terinspirasi dari pantan;"Karantau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, dirumah baguno balun."

Maksud pantun tersebut, memang menyarankan atau menganjurkan anak nagari Minang;"Pergilah merantau kenegeri orang, cari ilmu pengetahuan, serta cari mata penghidupan, untuk kemudian dibawa dan dikembangkan dikampung halaman."

Akibatnya, banyak anak nagari mengambil sikap pergi merantau. Soalnya, jika sesuai pemdidikan dengan meraih gelar sarjana, malu untuk pulang kampaung, karena mendapat nilai negatif bagi masyarakat di kampuang. Anak nagari yang pulang kampung dianggap gagal dirantau.

Kini, sudah saatnya anggapan ngatif masyarakat dikampung dirubah. Kenapa? Karena tidak ada jaminan hidup dirantau bakal sukses. Sementara  dikampung masih banyak potensi yang belum dimanfaatkan untuk kesejahteran rakyat. Kenapa? Karena potensi daerah yang dimiliki belum digarap anak nagari yang punya keahlian.

Rasanya, ada baiknya juga ambil pelajaran dari ungkapan mantan Presiden Afrika Selatan yang sukses, Nelson Mandela;"Cukup berikan yang terbaik bagi kampung halamanmu, maka kamu bisa membawa dampak positif dan bermanfaat bagi masyarakat di sekitarmu."

Bila dikaji secara ilmiah, pulang ke kampung halaman atau pergi merantau, so pasti memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Sikap ini, sangat tergantung dengan individu-individu dalam menentukan pilihannya. Tapi perlu juga dipikirkan, apalah artinya merantau jika dikampung saja belum punya kontribusi di tanah kelahiran sendiri.

Jadi sangat wajar dan tepat sekali kalau Wakil Gubernur Sumatera Barat, Nasrul Abit meminta dan sekaligus mengajak para sarjana untuk untuk berkiprah di kampung halaman setelah menamatkan jenjang pendidikan di kampus. Alasan wagub, karena para sarjana ini diharapkan mampu dan bisa mengembangkan potensi yang ada untuk membangun kampung halaman.

Menurut Wagub, banyak peluang yang bisa digarap di kampung, seperti mereka yang tinggal di pesisir pantai bisa di sektor perikanan yakni, budidaya. Tidak hanya itu bagi mereka yang punya lahan bisa budidaya ikan lele atau nila, belut, udang, dan bididaya lainnya.

Kemudian, bagi sarjana pertanian, kata wagub, bisa bercocok tanam, seperti jagung, kacang tanah, sawit, gambir yang cukup menjanjikan. Begitu juga dengan komoditi lainnya. Asal mau mengarap dan memanfaatkan potensi yang ada so pasti akan berhasil.

Dibidang ekonomi pun, para sarjana juga berpeluang menjadi seorang pengusaha di bidang Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), mengingat potensi UMKM di Sumbar cukup menjanjikan.

Selama ini mungkin para sarnaja tidak terlalu serius  memperhatikan potensi yang dimiliki kampung halaman. Akibatnya, banyak terdapat sekolah yang serba kekurangan. Entah itu kekurangan tenaga pengajar, murid-murid bahkan fasilitasnya yang jauh dari kata lengkap. Bahkan, para petani pun di kampung sering mengalami gagal panen, karena penggarapannya tidak dibarengi dengan pengetahuan serta fasilitas yang seharusnya wajib terpenuhi.

Melihat kondisi dan fakta yang ada saat ini dikampung, sudah seharusnya lah para sarjana mengambil peran dalam memakmurkan kehidupan warga di kampung leluhurnya. Untuk itu, sudah saatnya pula para sarjana, baik yang dari pendidikan, pertanian, ekonomi, pertenakan, perikanan, sudah saatnya bersatupadu untuk memberikan kontribusi pada kampung halaman.

Jangan terlalu bimbang dalam menentukan masa depan. Setelah lulus dan menyandang gelar sarajana, tak ada salahnya jika pulang untuk membangun kembali kampung halaman dengan memanfaatkan potens yang dimilik.

Apalagi kini berdasarkan data BPS Sumbar, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2017 menurut pendidikan, ternyata TPT terendah itu terdapat pada penduduk berpendidikan sekolah dasar ke bawah yakni sebesar 4,24 persen. Sementara TPT tertinggi berada pada tingkat pendidikan universitas sebesar 8,12 persen.

Kemudian, TPT tertinggi yang diduduki oleh tingkat pendidikan universitas itu berada di daerah perkotaan, jika dibandingkan TPT yang ada di pedesaan. Hal ini terlihat pada setahun terakhir yakni, Februari 2016 - Februari 2017 TPT perkotaan menurun 0,34 persen sedangkan pedesaan naik. Dari data ini, bahwa kampung halaman sekarang lagi membutuhkan TPT. Yok pulang kampung. (penulis Ketua SMSI Sumbar)