Belanja Online, Leisure dan Generasi Milenial

Belanja Online, Leisure dan Generasi Milenial

Artikel () 14 Desember 2017 20:24:02 WIB


Beberapa bulan lalu sempat heboh berita tentang penutupan sebuah gerai ritel yang baru saja menjadi trendsetter baru gerai ritel di Jabodetabek, yaitu Seven Eleven (Sevel). Seven Eleven yang gerainya bertumbuh menjamur di Jabodetabek akhirnya menutup gerainya satu persatu. Padahal kalau dilihat, tempatnya selalu dipenuhi anak muda yang berkumpul sambil makan dan minum.

Kehadiran Sevel kemudian ditiru Indomaret dan Alfamart. Sevel adalah minimarket yang juga menyediakan meja kursi untuk makan minum sekaligus menjual makanan dan minuman cepat saji yang sudah disediakan mesin dan alatnya. Dan saya menduga gaya Sevel ini juga akan ditiru oleh minimarket lain di Sumbar, termasuk di antaranya oleh Minang Mart.

Fenomena generasi milenial saat ini cukup membuat berbagai pihak melirik bahkan mungkin mempelototi mereka. Termasuk pihak pemerintah sendiri. Karena generasi milenial membawa budaya baru yang menimbulkan berbagai pergeseran yang memberi dampak kepada perekonomian.

Lihat saja fenomena melemahnya daya beli. Generasi milenial seolah disalahkan terhadap fenomena ini. Bahkan data statisik pun seolah turut mendukung argumentasi ini. Misalnya saja data tentang tumbuhnya secara signifikan konsumsi untuk leisure, seperti jalan-jalan berwisata dan menginap. Generasi milenial berdasarkan data statistik ternyata gemar menghabiskan uang untuk leisure, termasuk menonton, makan dan minum di mal, wisata ke luar kota dan mancanegara.

Kegemaran leisure generasi milenial ini didukung atau mungkin ditangkap oleh penyedia tiket online. Di mana masing-masing penyedia tiket online tersebut memberi berbagai fasilitas dan kemudahan serta tentunya diskon yang menarik. Generasi milenial memang sudah terbiasa dengan belanja online, termasuk membeli tiket online, tidak lagi di biro perjalanan (offline). Para produser tiket online bahkan berani memberikan harga termurah untuk pesawat dan hotel kepada pelanggannya.

Generasi milenial menjadikan dunia maya sebagai pencarian barang dan jasa murah, karena mereka sudah tahu jika memesan via telpon harganya beda jauh dengan pesan online. Dan fenomena pemesanan online ini setidaknya semakin marak dalam tiga tahun terakhir.

Jika melihat kondisi Sumbar, nampaknya pengeluaran rumah tangga kepada leisure ini terlihat dari kian bertambahnya hotel di Padang. Ini artinya semakin banyak kamar hotel yang dipesan oleh wisatawan ketika mereka pergi ke Padang. Demikian pula halnya dengan harga tiket pesawat Jakarta-Padang dan Padang-Jakarta yang sering mengalami kenaikan di momen liburan (weekend dan hari libur) atau libur panjang (long weekend). Sebuah penginapan di dekat Danau Maninjau termasuk yang selalu penuh ketika liburan. Pesan sejak satu bulan sebelumnya tidak menjamin bakal dapat kamar. Sedangkan di Bukittinggi, hotel-hotel favorit juga selalu penuh ketika liburan. Dan kabarnya Mandeh pun juga kian banyak didatangi wisatawan, sehingga sudah banyak calon investor yang akan membangun hotel atau penginapan di kawasan Pesisir Selatan. Sementara itu di Batusangkar sudah berdiri hotel baru yang cukup representatif dengan investor dari luar Sumbar (perantau). Ini menandakan bahwa Sumbar turut kebagian kue konsumsi leisure masyarakat Indonesia termasuk generasi milenial. 

Kembali ke belanja online, baru saja beberapa hari lalu dilaksanakan hari belanja online nasional. Dan omset belanja selama satu hari tersebut senilai 4,6 triliun rupiah dan diikuti 254 perusahaan e-commerce. Lonjakan belanja online sungguh luar biasa. Pada tahun 2012 nilainya 67,5 miliar rupiah. Kemudian pada 2016 melonjak drastis menjadi 3,3 triliun rupiah.

Namun seiring meningkatnya animo masyarakat terhadap belanja online, ternyata aduan konsumen belanja online yang terdata di YLKI juga turut meningkat. Dua tahun lalu aduan belanja online tidak masuk ke dalam 10 besar. Namun sekarang menjadi aduan yang tertinggi. Dan mengalahkan aduan tentang perbankan dan perumahan.

Maka sudah seharusnya masalah yang kini tengah menjadi rutinitas generasi milenial disikapi dengan baik. Budaya belanja online dengan nilai yang makin melesat adalah tanda pergeseran konsumen kepada masalah kemudahan, kepraktisan, dan juga harga yang murah dibanding belanja offline. Namun di situ akan ada masalah aduan akibat ketidaksesuaian atau kesamaan persepsi antara penjual dan pembeli. Dan dunia online adalah dunia generasi milenial.

Mungkin ini pertanda pemerintah harus menyikapi sekaligus mencermati gaya generasi milenial yang telah menggeser dan juga mengubah kebiasaan generasi lama. Karena kemungkinan mesin pertumbuhan ekonomi pun akan bergeser kepada leisure dan online. Dua hal yang memang tidak bisa dipahami sebelumnya sebagai sebuah tanda-tanda meningkatnya perekonomian di sebuah wilayah. (efs)

 

Referensi:

Tabloid Kontan Edisi Khusus, Desember 2017

Koran Tempo, 13 Desember 2017

ilustrasi: freefoto.com