Anak dan Kekerasan

Artikel Yongki Salmeno(Yongki Salmeno) 12 Desember 2014 03:16:11 WIB


Saya tersentak kaget seperti mendengar petir di siang bolong ketika menerima informasi tentang tindakan kekerasan dan pengeroyokan yang dilakukan sejumlah murid sebuah sekolah dasar (SD) terhadap seorang murid wanita. Peristiwa ini terjadi di sebuah SD swasta di Bukit Tinggi. Tanpa sedikitpun rasa kasihan mereka beramai-ramai memukul dan menendang seorang murid wanita yang berdiri terpojok di sudut ruangan yang hanya mampu menangis dan menjerit. Sementara rekan mereka lainnya terdengar memberi semangat supaya pelaku terus melakukan pukulan dan tendangan, lagi dan lagi.

            Astagfirullah! Fenomena apakah yang sedang terjadi? Tak disangka, sejumlah murid SD yang masih tergolong di bawah umur, telah mampu melakukan tindakan sadis dan brutal seperti itu. Informasi yang diperoleh peristiwa itu terjadi saat mereka sedang dalam jam pelajaran agama dan lokasi peristiwa adalah di mushalla. Apa yang salah?

            Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu : Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi.” Atau secara lebih luas, setiap anak dilahirkan suci, bersih seperti kertas putih yang belum ternoda. Lingkungan lah yang kemudian membentuk karakter dan prilakunya.

            Secara garis besar, lingkungan yang mempengaruhi anak-anak kita dibagi atas dua, yaitu lingkungan di rumah (dalam keluarga) dan lingkungan di sekolah. Atau lebih spesifik pendikan yang membentuk karakter anak dibagi atas dua bagian, yaitu pendidikan di keluarga dan pendidikan di sekolah. Keduanya saling mendukung, tidak boleh diabaikan salah satunya.

            Di sekolah idealnya, anak-anak diberi pendidikan tentang bebagai ilmu pengetahuan, agama, etika dan pengetahuan tentang norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Di rumah, seharusnya hal serupa juga diajarkan bahkan lebih mendalam serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

            Biasanya pada aspek praktek inilah terdapat titik kritisnya. Di sekolah anak-anak diajarkan pendidikan tentang agama, misalnya. Mereka disuruh menghafal Rukun Iman, Rukun Islam dan seterusnya. Mereka bisa dapat nilai sempurna (10) karena hafal pelajaran agama. Namun kita sering lupa mengevaluasi apakah mereka mengamalkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari?

           Pendidikan di rumah juga perlu perhatian serius, malah itulah yang lebih penting. Banyak orangtua menganggap bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab guru di sekolah dan dianggap telah tuntas jika anak telah dimasukkan ke sekolah. Padahal justru anak lebih banyak berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya di rumah. Umumnya hanya seperempat waktu anak belajar di sekolah, sebagian besar lainnya dihabiskan bersama keluarga di rumah. Itu artinya proses pendidikan dan interaksi anak lebih banyak terjadi di rumah.

            Selain itu, sesuai dengan fitrahnya, anak biasanya suka meniru tokoh yang menjadi panutannya. Jika yang dia anggap sebagai tokoh panutannya adalah guru, maka ia cendrung meniru sikap dan tingkah laku gurunya. Jika gurunya bersikap penyabar dan penuh perhatian, maka iapun akan berusaha bersikap demikian. Sebailknya jika gurunya berprilaku pemarah dan suka cemberut, maka ia pun bersikap demikian, tak jauh berbeda.

            Jika yang ia jadikan tokoh idola adalah orang tuanya, maka ia juga akan meniru prilaku dan sikap orangtuanya. Jika orang tuanya pemarah, maka ia juga akan pemarah, jika orang tuanya suka berkata-kata kasar, maka ia juga akan suka berkata kasar. Begitu juga jika ia sering melihat perlakuan kekerasan, maka tanpa merasa risih, iapun melakukan hal serupa.

            Namun di zaman informasi dan komunikasi yang serba canggih seperti saat ini, bisa jadi tokoh yang ia idolakan bukan guru, juga bukan orang tua atau keluarga dekat mereka, tetapi tokoh dalam tontonan yang sering mereka saksikan atau games yang sering mereka mainkan. Prilaku dan sikap-sikap sadis yang sering mereka saksikan, tanpa disadari juga mereka tiru dan dipraktekkan.

           Kita tentu tak ingin kejadian seperti di atas terulang lagi. Peristiwa ini merupakan contoh yang sangat memilukan dari kegagalan kita mendidik anak, calon-calon generasi penerus bangsa. Karena itu mari kita perhatikan pendidikan dan proses pembentukan karakter anak-anak kita tercinta, baik di sekolah maupun di rumah. Tantangan ke depan makin berat, godaan makin banyak. Seleksi dan control secara baik games maupun tontonan yang dikonsumsi anak.

Semoga kejadian ini tidak terulang lagi, tentu saja tidak ada orang tua menginginkan anak-anaknua menjadi jahat dan brutal.. Karena itu mari kita perhatikan dan kita sadari bahwa pendidikan mereka, tidak hanya di sekolah, tapi juga di rumah dan di lingkungan kita. ***  (Irwan Prayitno)