BIROKRASI DALAM BINGKAI DEMOKRASI

Artikel () 30 Oktober 2015 19:19:02 WIB


BIROKRASI DALAM BINGKAI DEMOKRASI

 Oleh :

ROMI SUKMA, S.H.

Staf BKD Provinsi Sumatera Barat

 

 

  1. Pendahuluan

Diskursus tentang peran negara menjadi salah satu topik yang menarik perhatian banyak kalangan seperti akademisi, praktisi pemerintahan, politisi, dan sebagainya. Pasalnya, negara terutama birokrasi mempunyai peran penting dalam menyediakan barang-barang publik (public goods) untuk masyarakat seperti kesehatan, pendidikan, jaminan sosial, dan pelayanan publik. Untuk menjamin public goods dapat diakses oleh semua kalangan masyarakat, maka tata kelola pelayanan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi harus menyertaikan prinsip keadilan dalam implementasinya. Agar prinsip keadilan dapat direalisasikan dalam pelayanan publik, maka birokrasi harus memberikan ruang partisipasi masyarakat secara keseluruhan.

Sebagai masyarakat biasa, tentu saja peran tersebut sangat penting bagi mereka, mengingat dalam kehidupan bermasyarakat, tidak semua masyarakat dapat mengakses pelayanan publik sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Meminjam perkataan Karl Marx, dalam kehidupan bermasyarakat selalu ada pendikotomian antara masyarakat kaya (borjuis) dan masyarakat miskin (ploretar). Masyarakat kaya yaitu mereka yang mempunyai modal yang memadai dan kekuasaan seperti pengusaha, birokrat dan sebagainya. Sedangkan masyarakat miskin yaitu mereka yang tidak memiliki modal dan kekuasaan seperti buruh, rakyat miskin dan sebagainya.

Dalam sejarah peradaban manusia, dikotomi yang terjadi diatas tak selamanya berjalan dengan baik, selalu ada ketidakadilan dan ketimpangan antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin, baik itu terjadi secara eksplisit maupun secara implisit. Di sinilah kehadiran birokrasi pemerintah yang demokratis sangat diperlukan untuk melindungi warga negara (citizen) dari penggunaan kekuasaan politik yang despotik, apakah itu oleh monarki, aristokrasi, ataupun kelompok-kelompok yang lain (Held, 2004:12). Hal ini dilakukan agar keadaan yang digambarkan oleh Thomas Hobbes “manusia yang kuat menjadi serigala bagi manusia yang lain” tidak terjadi.

Saat ini, kita memasuki era masyarakat industri yang ditandai dengan tingkat perbedaan sosial, ekonomi, politik yang sangat tinggi (Budge dalam Held, 2004:17). Oleh karena itu, penyelenggaraan pelayanan publik harus diperbaharui sesuai dengan tuntutan jaman. Hal ini dilakukan supaya birokrasi sebagai lembaga publik tidak terlihat kaku di mata masyarakat. Sebab birokrasi yang kaku bisa memunculkan berbagai masalah sehingga dapat berimplikasi pada citra birokrasi itu sendiri.

Selama ini, birokrasi selalu dianggap sebagai organisasi yang banyak memiliki masalah, baik dari segi pelayanan maupun dari segi konsep. Dari segi pelayanan, birokrasi terkesan berbelit-belit, tidak responsive, diskriminatif dan sebagainya. Sedangkan dari segi konsep, birokrasi merupakan sebuah organisasi publik yang terlalu hirarkis, otoritatif, dan sentralistik sehingga dalam penyelenggaraan pelayanan publik terkesan kaku (lihat Fredericson, 1984; Siangian, 1994; Weber, 1978).

Problem birokrasi diatas menjadi kendala dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang prima untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena pada dasarnya setiap pelayanan pemerintah harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini senada dengan peryataan Frederickson (1984:51-52) yaitu, “ketika masyarakat di tawari serangkaian pilihan tentang pelayanan publik yang disukai, maka mereka akan memilih pelayanan-pelayanan yang dapat menyediakan kebutuhan-kebutuhan mereka”. Persoalan ini menuntut adanya tata kelola pelayanan publik yang mempunyai daya tanggap yang tinggi dan mampu memahami kebutuhan masyarakat secara cepat pula.

Dalam konsep birokrasi tradisonal yang selalu mengedepankan efisiensi, efektifitas, dan ekonomis dalam menyediakan kebutuhan masyarakat, seringkali terdapat kesalahan dalam memahami kebutuhan masyarakat. Karena konsep ini lebih mengedepankan cara yang otoritatif, hirarkis, dan sentralistik dalam memenuhi kebutuhan masyarakat (pelayanan publik). Hal ini terkesan mengabaikan kemauan masyarakat karena mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan sehingga dalam menyediakan pelayanan publik sering terjadi ketidakadilan.

Birokrasi yang sentralistik, hirarki, dan otoritatif juga dapat berimplikasi pada pemberian kekuasaan yang besar bagi atasan/pemimpin (lihat Weber, 1987:225), dan yang berada di bawah mempunyai kekuasaan lebih kecil, sedangkan yang berada diluar organisasi pemerintahan yang diduduki oleh masyarakat dianggap tidak mempunyai kekuasaan (Thoha, 2007).

Dalam tulisan ini, mencoba memotret masalah birokrasi yang terlalu sentralistik dan otoritatif dengan mengembangkan solusi alternative yaitu dengan menggunakan pendekatan demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pelayanan publik. Mengingat interaksi yang terjadi antara nilai-nilai yang dianut oleh birokrasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh demokrasi dapat berpotensi terjadinya kontradiksi dan konflik satu sama lain. Birokrasi yang selalu mengedepankan nilai-nilai hirarki, partisipasi berdasarkan keahlian, dan efisiensi dalam menjalankan kewenangannya, ini bersebrangan dengan demokrasi yang selalu mengedepankan nilai-nilai persamaan, partisipasi masyarakat, dan keadilan (Hamilton, 2007:11).

  1. Transformasi birokrasi dari otoritatif-sentralistik ke demokratis-partisipatif

Konsep pelayanan birokrasi masyarakat muncul pada akhir abad ke 19, ditandai dengan perubahan masyarakat secara cepat yang dipengaruhi oleh revolusi industri. Pada saat itu, birokrasi merupakan instrumen yang sangat efektif karena mampu memajukan pembangunan ekonomi dan menciptakan negara modern. Keberhasilan itu terbukti dengan kontribusinya membawa banyak negara sukses melakukan industrialisasi (Bourgon, 2007:9).

Ditambah lagi, dengan hadirnya tokoh seperti Max Weber yang mengusulkan konsep birokrasi ideal membuat birokrasi menjadi sebuah organisasi publik yang memiliki peran yang sangat signifikan dalam mewujudkan tujuan negara. Konsep birokrasi ideal ini lebih menekankan pada kekuatan struktur yaitu hirarki dan vertikal (Bourgon, 2007:9; Fredericson, 1984; Weber, 1978:85). Dalam struktur hirarki pemerintah dilihat seperti sebuah bagan, ada pemimpin puncak dan ada bawahan. Disini orang-orang dimasukan dalam bagan-bagan organisasi itu, kemudian dilakukan pembagian kerja, klasifikasi personalia, dan penetapan skala gaji. Sedangkan, dalam struktur vertikal, pengambilan keputusan dilakukan oleh pemimpin puncak, kemudian keputusan itu didistribusikan kepada bawahan untuk dilaksanakan atau bersifat top-down.

Nilai fundamental atau mendasar yang ingin dicapai oleh birokrasi dalam penyediaan pelayanan publik yaitu nilai efisien, ekonomis, dan efektifitas (Fredericson, 1984:8; lihat juga Bourgon, 2007:9). Efisiensi adalah menyediakan pelayanan publik yang lebih baik dengan sumber daya yang tersedia. Ekonomis adalah menyediakan pelayanan publik dengan menggunakan sumber daya (baca: anggaran) yang sesedikit mungkin. Dan efektifitas adalah suatu organisasi harus seproduktif mungkin dalam menyediakan pelayanan publik.

Tak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai seperti efisiensi, ekonomis, dan efektifitas menjadi bagian paling penting dari tugas birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana nilai-nilai tersebut dapat dilaksanakan oleh birokrasi. Dengan kata lain, bagaimana cara mewujudkan nilai-nilai tersebut.

Jika kita menggunakan pendekatan birokrasi Weberian untuk mewujudkan tujuan dari birokrasi diatas maka kita akan menggunakan cara-cara yang otoritatif dan sentralistik (Fredericson, 1984:34). Cara seperti itu diberikan kepada pemimpin organisasi untuk menjalankan tugasnya, karena dalam organisasi publik, otoritatif dan sentralistik dianggap sebagai hal yang sudah biasa. Hal inilah yang disebut oleh Weber (1978:85) sebagai “bureaucratic authority”. Cara-cara seperti itu dianggap efektif untuk mencapai tujuan organisasi.

Akan tetapi, dalam realitasnya birokrasi yang sentralistik, hirarki, dan otoritatif dapat berimplikasi pada pemberian kekuasaan yang besar bagi atasan (lihat Weber, 1987:225), dan yang berada di bawah mempunyai kekuasaan lebih kecil, sedangkan yang berada diluar organisasi pemerintahan yang di duduki oleh masyarakat dianggap tidak mempunyai kekuasaan (Thoha, 2007). Ketika hal ini terjadi dalam sistem birokrasi maka pengelolaan dan penyediaan public goods melalui pelayanan publik akan bersifat eksploitatif dan diskriminatif dimana masyarakat tidak berdaya menghadapi birokrasi, dan hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya penyelewengan kekuasaan oleh pemimpin organisasi seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN, dan lain-lain.

Dengan menekankan pada pemberian kekuasaan yang sangat besar kepada pemimpin organisasi membuat mereka melupakan atau mengabaikan tanggungjawabnya (Friedrich dalam Albrow, 1987:262). Tekanan yang diberikan oleh Weber pada otoritas ini, menurut Friedrich “agak mirip dengan entusiasme Prussia terhadap tipe organisasi militer, dan jalannya agak tertutup bagi pola konsultatif, apalagi pola koperatif”. Di sini peran masyarakat sangat terbatas dimana mereka tidak bisa melakukan atau menuntut sebuah pelayanan yang diberikan oleh birokrasi yang layak bagi mereka.

Seperti yang dikatakan Budge dalam Held (2004) sebelumnya, dalam masyarakat industry yang begitu kompleks, tingkat perbedaan sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat sangatlah tinggi, maka pendekatan otoritatif dan sentralistik sudah kurang jika tidak dikatakan relevan lagi untuk digunakan sebagai titik pijak oleh birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Pasalnya, kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan publik di tengah perbedaan semakin meningkat dan bervariasi sehingga dituntut birokrasi untuk lebih sensitive terhadap kebutuhan masyarakat, dan ketika memformulasikan kebijakan tentang penyediaan pelayanan publik harus concern kepada kebutuhan mereka (Sjoberg dkk, 1978:4).

Untuk menjalankan peran seperti yang digambarkan oleh Sjoberg dkk diatas, maka transformasi paradigma birokrasi dari paradigma otoritatif-sentralistis ke paradigma demokratis-partisipatif menjadi solusi alternative untuk meningkatkan peran birokrasi agar kinerja birokrasi lebih baik lagi bagi masyarakat. Transformasi birokrasi adalah perubahan perilaku birokrasi yang memberikan kesadaran kepada birokrasi bahwa pemerintah dibentuk tidak untuk melayani diri sendri melainkan sebagai pelayan masyarakat (Kurniawan, 2013:35).

Berbeda dengan pendekatan otoritatif-sentralistis yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam paradigma demokrasi, penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemahaman demokrasi dalam konteks ini memungkinkan kita untuk mengamati apakah dalam suatu sistem politik, ekonomi, dan sosial pemerintah memberikan ruang gerak yang cukup bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dengan kata lain, dalam paradigm demokrasi, masyarakat diberikan kebebasan untuk menentukan pelayanan publik yang mereka inginkan, sehingga penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sebab masyarakat dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan.

Kebebasan, keadilan, persamaan, dan rule of law merupakan nilai-nilai yang ada dalam sistem demokrasi yang harus dimanifestasikan dalam setiap institusi publik (Hamilton, 2007). Nilai-nilai demokrasi ini seharusnya dijadikan pedoman untuk merumuskan setiap kebijakan, bertindak, dan bersikap oleh birokrasi (Hamilto, 2007).

Dengan menggunakan pendekatan demokrasi, para birokrat akan mampu mengakomodir berbagai tuntutan atau kebutuhan masyarakat. Implikasinya kesan negatif yang melekat dalam tubuh birokrasi akan berkurang atau lebih mendalam lagi kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi akan meningkat. Karena meningkatnya kepercayaan masyarakat menjadi tolak ukur keberhasilan birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik.

  1. Penutup

Sebagai lembaga publik, tentu saja birokrasi berkewajiban untuk menyediakan barang-barang publik (public goods) melalui pelayanan publik kepada masyarakat. Selain itu, birokrasi juga harus memastikan bahwa public goods itu dapat di akses oleh masyarakat secara mudah dan terjangkau. Hal ini dapat terwujud ketika birokrasi memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan menyangkut dengan kebutuhan yang mereka.

Dalam sejarah perkembangan birokrasi, penggunaan cara-cara dalam menyediakan pelayanan publik terdiri dari dua cara, yaitu pertama, cara yang otoritatif, sentralistik, dan hirarkis dalam penyediaan pelayanan publik. Dalam cara ini semua kebutuhan masyarakat ditentukan oleh pimpinan birokrasi, sedangkan masyarakat tidak mempunyai hak untuk menentukan kebutuhannya. Ini yang disebut dengan konsep birokrasi otoritatif-sentralistik. Sedangkan, cara yang kedua adalah cara yang demokratis-partisipatif, dimana dalam penyediaan pelayanan publik dimulai dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Disini warganegara diberikan ruang partisipasi dalam menentukan kebutuhan yang mereka inginkan.

Dengan demikian, maka transformasi paradigma birokrasi dari paradigma otoritatif-sentralistis ke paradigma demokratis-partisipatif menjadi suatu keharusan, ketika birokrasi menginginkan kinerja mereka di nilai baik oleh masyarakat. Transformasi birokrasi adalah perubahan perilaku birokrasi yang memberikan kesadaran kepada birokrasi bahwa pemerintah dibentuk tidak untuk melayani diri sendri melainkan sebagai pelayan masyarakat.

 

 

Daftar Pustaka

Albrow, M. (1987). Menjalankan Pemerintahan Melalui Biro-Biro (Samekto., Trans). Dalam Surie, H. G. (1987). Ilmu Administrasi Negara: Suatu Bacaan Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Berkley, G., & Rouse, J. (2004). The Craft of Public Administration. New York: McGraw-Hill.

Fredericson, H. G. (1984). Administrasi Negara Baru (A. G. Usman, Trans.). Jakarta: LP3ES.

Held, David. (2004). Demokrasi dan Tatanan Global: Dari Negra Modern Hingga Pemerintahn Kosmopolitan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Kurniawan, A. (2013). Transformasi Birokrasi. Yogyakarta. Penerbit Universitas Adma Jaya.

Weber, M. (1974). Essay on Bureaucracy. Dalam Rourke, F. E. (1974). Bureaucracy Power in National Politics. Canada: Boston Toronto.

________. (1987). Tipe-tipe Otoritas (Samekto., Trans). Dalam Surie, H. G. (1987). Ilmu Administrasi Negara: Suatu Bacaan Pengantar. Jakarta: Gramedia.