Faktor penghambat membangun Sinergi Nilai Agama dan Budaya dalam Menghadapi Perubahan dan Tantangan

Artikel EKO KURNIAWAN, S.Kom(Diskominfo) 30 Agustus 2017 10:17:55 WIB


Faktor penghambat membangun Sinergi Nilai Agama dan Budaya dalam Menghadapi Perubahan dan Tantangan

Oleh :  Wakidul Kohar

Pendahuluan

Negara Indonesia, dengan sosialisasi otonomi daerah, memunculkan berbagai persoalan yang hampir sama diberbagai wilayah termasuk di Sumatera Barat. Persoalan yang terkait dengan otonomi daerah bisa saja muncul dari aspek politik, sosial ekonomi, dan komunikasi antarbudaya di daerah otonom. Sosialisasi otonomi daerah bermuara kepada beberapa kebijakan pemerintah daerah yang sangat berpengaruh terhadap kultur (nilai-nilai budaya), sosiokultural (pengalaman interaksi antara anggota budaya) dan psikokultural dalam  kehidupan sosial.

Mayoritas pesan-pesan otonomi diberbagai wilayah,  mendapat respon yang kurang baik dari etnis atau budaya lain. Hal ini wajar karena secara teori komunikasi antarbudaya bahwa pandangan dunia yang dianut etnis tertentu, mempengaruhi cara mereka memberikan makna pesan yang diinformasikan oleh etnis lain. Kenyataan yang dapat diamati bahwa pandangan dunia, nilai-nilai dan organisasi sosial antara masing-masing etnis berbeda, sehingga mengakibatkan perbedaan persepsi terhadap simbol dan peristiwa sosial yang terjadi di lingkungan mereka. Kondisi ini membuktikan bahwa perbedaan budaya berimpikasi pada komunikasi antaretnis. Implikasi tersebut lebih mengarah kepada  suasana komunikasi yang tertutup dibanding komunikasi yang terbuka, sehingga komunikasi antarbudaya kurang efektif.

Program otonomi daerah, diyakini dapat mengakomodir percepatan proses demokratisasi, terwujudnya keadilan dan pemerataan bagi seluruh masyarakat. Namun pada sisi lain, program otonomi daerah berhadapan dengan kenyataan, bahwa belum ada kemampuan para elit politik lokal menyampaikan pesan-pesan tersebut dalam bingkai lintas dan antarbudaya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa proses akulturasi dalam masyarakat yang berbeda budaya di berbagai wilayah  Indonesaia, pada kenyataannya sampai saat ini masih menghadapi hambatan komunikasi antarbudaya. Dalam proses interaksi sosial, prasangka setiap etnis masih kuat, sehingga menyulitkan pembentukan desa, nagari dan sejenisnya yang inklusif. Karena hal itu belum terjadi, akibatnya nilai-nilai positif dari suatu etnis belum bisa diterima oleh kalangan etnis lain dan sebaliknya. Sulitnya pembentukan kondisi tersebut disebabkan oleh suasana yang tertutup dalam komunikasi antarbudaya. Kondisi ini dapat dipastikan mengancam kesatuan antaretnis di era otonomi daerah. Oleh karena itu memerlukan perhatian atau penanganan yang lebih serius secara konseptual, komprehensif dan integral.

Faktor Penghambat Komunikasi dan Membangun Sinergi Antarbudaya

Di antara faktor penghambat (barrier) dalam berkomunikasi dan membangun sinergi antarbudaya adalah sebagai berikut:

Etosentrisme adalah cara pandang seseorang terhadap budaya lain, dengan kerangka budaya sendiri. Dalam konteks komunikasi antarbudaya, manusia mempunyai kecenderungan untuk mementingkan diri dan kelompoknya, disebabkan menganggap kelompoknya lebih baik dari kelompok lainnya. Etnosentrisme adalah cara pandang seseorang terhadap kehidupan budaya lain menurut kacamata budaya sendiri. Pandangan semacam ini, seringkali mengasumsikan bahwa budaya lain jelek dibanding budaya sendiri. Dalam bentuk yang normal, etnosentrisme adalah sikap yang positif terhadap kebudayaan sendiri. Tegasnya dalam hal-hal tertentu, etnosentrisme memang baik, karena individu ataupun kelompok akan menghargai kebudayaannya secara sadar.

Sebaliknya, etnosentrisme juga membawa dampak negatif, manakala seseorang atau kelompok memaksakan kehendak pada pihak lain bahwa budayanya yang paling benar dan harus diikuti oleh budaya lain. Paham etnosentrisme sering menutup kemungkinan pengembangan budaya dan menutup diri untuk belajar budaya lain. Seseorang yang sangat etnosentrik dapat saja bersifat sinis terhadap budaya lain dan memuji budaya sendiri.

Dari konsepsi Neulip, etnosentrisme dimulai dari kesetian pada kelompoknya dalam arti selalu memandang bahwa norma-norma dan nilai kelompoknya sebagai yang absolut yang digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan lain. Etnosentrisme juga membimbing mereka untuk memandang kebudayaan mereka sebagai yang terbaik. Paham ini sekaligus mengecilkan etnis lain sebagai kelompok, efek yang lebih dari itu etnosentrisme mempengaruhi sikap hidup, cara pandang, nilai dan prasangka. Apapun alasannya, etnosentrisme memang cenderung mempengaruhi penafsiran. Paham ini berkibat pada sikap untuk menghalangi pemaknaan budaya lain. Dalam sejarah kemanusiaan etnosentrisme di bawah rezim Nazi Jerman, orang Jerman di bawah Hitler pernah mengaku bahwa rasnya terpilih yang ditakdirkan untuk memerintah dunia.

Suatu kelompok etnis, yang terdiri dari himpunan manusia, karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa atau kombinasi dari katagori-katagori tersebut dapat dipastikan mempunyai keterikatan etnis yang tinggi, melalui sikap etnosentrisme. Sikap etnosentrisme menjadikan orang, cenderung memandang nama dan nilai kelompok budayanya, sebagai suatu yang absolut dan dapat digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap kebudayaan lain.

Sikap membandingkan budaya sendiri dengan budaya orang lain, dalam persoalan filosofi  hidup dengan ukuran sendiri, dapat dikatagorikan sebagai etnosentrisme, karena ada indikasi rasa bangga akan kebudayanya sendiri sekaligus menempatkan etnis lain pada level di bawahnya. Ini sejalan dengan perspektif Rogers, bahwa dalam etnosentrisme ada kecenderungan merendahkan budaya lain sebagai inferior dibandingkan budaya sendiri.

Etnosentrisme tidak saja melekat pada diri manusia ketika lahir.  Etnosentrisme dipelajari dari lingkungan seseorang, dari pengalaman, dan dari berbagai peristiwa yang diamati dan dialami. Dalam penelitian ini, fenomena yang dapat diamati, pengalaman antaretnis (sosiokultural) menjadi latar belakang yang utama dari munculnya etnosentrisme, disamping faktor ekonomi, pemahaman keagamaan dan tingkat pendidikan.  Untuk beberapa kasus di Indonesia, fenomena di etnorelativisme, relative sedikit,  yaitu seseorang memahami suatu budaya dari dalam budaya itu dan mereka melihat perilaku orang dari budaya tersebut melalui kaca mata mereka. Seseorang dari anggota budaya tertentu dapat dikatakan sebagai etnorelativisme, bila dalam setiap kali mengindentifikasi orang lain selalu mempertimbangan konteks sejarah dan konteks sosial dari budaya lain tersebut.

Kenyataan ini memperkuat teori Gudykunts dan Kim bahwa dalam komunikasi antarbudaya manusia selalu dipengaruhi oleh cultural (antara lain nila-nilai budaya, pandangan dunia, sejarah dan organisasi sosial), dan sosiocultural (pengalaman-pengalaman interaksi antaretnis). Pada posisi sosiocultural inilah diasumsikan ada perubahan sikap etnosentrisme kepada sikap etnorelativisme. Hal ini lebih menegaskan teori dalam komunikasi antarbudaya bahwa etnosentrisme adalah faktor penghalang (barrier) utama dalam memahami budaya orang lain dan menghambat dalam komunikasi antarbudaya.

Prasangka sosial 

Prasangka Sosial, adalah sikap negatif kepada anggota kelompok lain,  yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok. Misalnya karena pelaku jenis tertentu dilakukan oleh salah satu etnis di Indonesia,  ( contohnya Cina keturunan), maka seluruh etnis (cina keturunan) pasti melakukan hal itu atau sebaliknya perilaku tertentu dilakukan oleh etnis yang lain,(missal etnis Jawa), maka seluruh etnis Jawa, pasti melakukan hal itu. Sementara definisi lain, mengungkapkan  bahwa prasangka lebih spesifik yakni kecenderungan untuk menilai secara negatif orang yang memiliki perbedaan dari umumnya dalam hal etnis, dan ras. Sebetulnya kenyataan tersebut, adalah gambaran kecil masyarakat Indonesia, yaitu masyarakat yang penuh prasangka. Penilaian itu tentu bukan tanpa dasar. Saat ini masyarakat Indonesia memiliki kecurigaan yang akut terhadap segala sesuatu yang berbeda atau dikenal dengan istilah heterophobia. Segala yang baru dan berbeda dari umumnya, orang akan ditanggapi dengan penuh kecurigaan. Kehadiran anggota kelompok yang berbeda apalagi berlawanan, akan dicurigai membawa misi-misi yang mengancam. Adanya prasangka yang luas di tengah masyarakat, merupakan indikasi ketidaksehatan sosiopsikologis dalam masyarakat bersangkutan. Hal ini karena prasangka menumbuhkan kecurigaan, ketidakpercayaan dan permusuhan. Prasangka pada akhirnya menghalangi, anggota-anggota masyarakat mengembangkan komunikasi antarbudaya  yang terbuka.

Penutup

Etnosentrisme dan prasangka adalah salah satu penghambat besar dalam membangun komunikasi antarbudaya. Komunikasi menjadi tidak terbuka, padahal sebuah hubungan antarpribadi dan kelompok bisa dibangun bila adanya keterbukaan dan kepercayaan. Seperti yang terjadi pada etnosentrisme, bahwa prasangka  yang terjadi pada masing-masing etnis di berbagai wilayah Indonesia, adalah pengalaman pribadi antar etnis dari dua budaya yang berbeda.