Otonomi Daerah

Artikel Yongki Salmeno(Yongki Salmeno) 23 Juni 2014 03:46:27 WIB


Sistem otonomi daerah (desentralisasi) pada dasarnya telah mulai diberlakukan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan. Hal itu terlihat dengan adanya pembagian wilayah ke dalam kategori provinsi dan kewedanaan. Lalu pada zaman pemerintahan berikutnya dibagi lagi atas kewedanaan, kecamatan dan desa atau lurah atau nagari.

Tuntutan untuk melaksanakan otonomi daerah makin menguat setelah tahun 1966. Semua itu ditujukan untuk mengoptimalkan pembangunan di masing-masing daerah serta mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Otoda juga ditujukan agar terwujud pembagian wewenang yang proporsional antara pusat dan daerah, sesuai dengan tuntutan pembangunan dan perkembangan daerah.

Menurut wikipedia Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom/Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam bahasa Yunani, otonomi  berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga otonomi dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri  atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.

Sejumlah peraturan dan undang-undang telah dibuat dan diundangkan untuk mengatur pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, mulai dari Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah hingga yang terbaru, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Namun pelaksanaannya di lapangan tidaklah mudah. Kondisi masing-masing daerah yang berbeda, baik kondisi sumberdaya alam, budaya dan sumberdaya manusia yang berbeda menyebabkan pemahaman dan pola pelaksanaan otonomi daerah yang beragam pula. Begitu juga penafsiran yang berbeda dari unsur-unsur pimpinan daerah masing-masing. Aturan main pelaksanaan otonomi daerah terus dibenahi dan diperbarui agar bisa mengakomodir kebutuhan dan mengantisisipasi masalah-masalah yang terjadi di daerah

Pada acara peringatan Hari Otonomi Daerah ke XVIII tanggal 25 Desember 2014 lalu di Istana Negara Jakarta bersama Presiden dan Gubernur se Indonesia juga diingatkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah perlu terus ditingkatkan dan diperbaiki. Tema yang diangkat adalah: “Dengan Semangat Otonomi Daerah Kita Sukseskan Pelaksanaan Pemilu Tahun 2014 Dalam Upaya Memperkuat Tata Kelola Pemerintahan Daerah” .

Di Sumatera Barat, kami telah berusaha melaksanakan pola otonomi daerah semaksimal mungkin. Sejumlah perizinan yang dulu kewenangannya berada di provinsi telah didelegasikan ke Kabupaten dan Kota, bahkan ke tingkat kecamatan. Begitu juga sejumlah kewenangan yang selama ini berada pada gubernur, untuk efisiensi dan percepatan pelayanan kepada masyarakat, telah didelegasikan kepada kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).

Menyangkut izin-izin di pertambangan, kehutanan, perindag, pertanian, peternakan dan sejenisnya cukup sampai kepala SKPD/Kepala Dinas atau melalui pelayanan satu pintu. Sebanyak 97 bentuk izin, pengurusannya telah didelegasikan kepada kepala SKPD. Begitu juga di daerah, melalui PATEN (Pelayanan Terpadu Kecamatan), cukup sampai tingkat camat. Aturannya telah ditetapkan melalui Pergub, SK Gubernur atau Surat Edaran. Semua itu dilakukan dalam rangka mempercepat pelayanan dan mengoptimalkan otonomi daerah.

Begitu juga dengan pengangkatan dan mutasi pejabat. Kewenangan pengangkatan, pemberhentian pejabat serta mutasi, diserahkan kepada kepala daerah masing-masing, sesuai dengan semangat otonomi daerah. Selama ini hanya pengangkatan pejabat eselon 2 saja yang dilaporkan ke gubernur dan gubernur tidak pernah turut campur menentukan si A atau si B yang akan dipilih. Begitu juga kepala sekolah, sepenuhnya wewenang Bupati atau Walikota, karena semua sekolah berada di bawah wewenang Bupati dan Walikota, bukan Gubernur.

Banyak dampak positif yang saya lihat sebagai dampak kebijakan ini. Pendelegasian wewenang menyebabkan penjabat yang diberikan wewenang beserta stafnya lebih bersemangat dan bergairah bekerja. Pegawai-pegawai terlihat sibuk, tak banyak waktu terbuang percuma. Di sisi lain tentu kita berharap pelayanan yang lebih baik, cepat dan tepat sasaran, bisa diperoleh masyarakat. Semoga! (Irwan Prayitno)